- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Sore itu, ditemani Pak Ong Hari Wahyu, saya bertendang ke studio Rismanto. Bangunan di tengah perkampungan padat, di pinggir gang sempit, itu menyimpan begitu banyak karya seni dengan ukuran dan gagasan besar. Berbeda dengan umumnya studio pelukis lain, ruang kerja Rismanto lebih mengesankan sebagai bagian assembling di sauatu pabrik kereta api. Disitu saya saksikan berbagai ragam kereta api lengkap dengan segala perangkat keras dan narasi yang melingkupinya : jembatan besi, rel dengan bebantal kayu dan kerakal batu, juga rambu palang kuning yang tulisanya dipelsetkan menjadi “Awas Spoor/ Seni Rupa Rismanto”-sebuah pengumuman, mungki peringatan, agar oarng menyadari tentang obyek estitik yang dimaksud dan siapa kreatornya.Benar-benar pintar.
Setelah Rismanto bercerita tentang proses kreatifnya, juga sebagian dari kisah hidupnya, saya mafhum bahwa pemahamanya mengenai seluk beluk perkeretaapian itu terhubung erat dengan pengalaman yang berkesan mendalam di masa lalu. Kemahiran mewujudkan detail, dengan bentuk dan warna yang mengecoh mata, nsmpai ke elemen-elemen kecil di bagian tersembunyi pada tubuh kereta, mengindikasikan keseimbangan antara penguasaan teknik dengan kemampuan riset dan observasi. Jejaknya membayang jelas pada karya-karya yang tidak hanya memancarkan romantisme tapi sekaligus mengusik kesadaran orang per orang perihal perjalanan hidup dari stasiun ke stasiun, dari kurun ke kurun. Neka ikon dari kosmologi perkeretaapian itu bagi saya cukup menjelaskan kapasitas kecerdasan sang seniman, kretaor yang sadar bahwa karyanya bukan obyek yang ahistoris dan kesepian.
Rismanto bahkan mengajak kita menelusur jauh ke masa silam. Ajakan itu saya tangkap ketika saya melihat patung seorang lelaki bertopi laken dalam baluran warna emas. Itulah sosok George Stephenson, sang penemu kereta api kelahiran Wylam, Northumberland, Inggris. Saya bayangkan, lelaki yang mencangkung di ujung potongan rel itu sedang menerawang jauh ke masa muda, ketika ia membantu bekerja ayahnya sebagai buruh tambang batu bara. Atau, ia justru sedang melesapkan pandangan ke depan, seperti ketika ia hendak menembus hamparan padang dan perbukitan, melintasi batuan padas dan kelebatan pepohon, membayangkan jalur kereta pertamanya yang bakal menghubungkan Stokton dan Darlington? Kereta, di luar fungsi utamanya sebagai sarana transportasi, juga bisa dimaknai sebagai penanda transformasi—perjalanan ulang-alik, dari dan ke dua atau lebih lokasi, dari dan ke satu atau sekian formasi.
Suatu perjalanan ulang-alik—yang di dalamnya terangkum makna substansial tentang subjek, dua ruang utama dan ruang antara, juga dua waktu utama dan waktu antara—tak cukup ditafsir hanya sebagai sebuah narasi yang linier karena sesungguhnya ia mempresentasikan pengalaman interkontekstual. Masing-masing konteks tak bisa berdiri sendiri, selalu terhubung dengan konteks lain; seperti halnya setiap titik tolak senantiasa terhubung dengan tujuan, dan sebaliknya. Dengan demikian, segala yang telah lalu dan yang sedang dilalui pada gilirannya (se)akan dilintasi dan disongsong kembali.
Saya teringat bagian dari lirik lagu Louis Armstrong, “2:19 Blus”, berikut:
The two-nineteenth brought my baby away
The two-nineteenth brought my baby away
The two-seventeenth will bring her back someday
Syair itu pun bertema tentang kereta. Penciptanya secara cerdik menyesapkan ambiguitas dengan menggunakan dua tipe penulisan: “2:19” (pada tajuk) dan “dua-sembilan belas” (pada tubuh teks). Yang pertama merujuk kepada subjek, yakni kereta yang disebut sesuai jadwal keberangkatannya—ditunjukkan dengan angka sebagaimana lazimnya penulisan waktu; sedangkan yang kedua mengacu pada subjek sekaligus masa, yakni “kereta” (saat itu hanya menggunakan dua rel) dan “dekade kedua abad kesembilan belas” ketika sarana transportasi itu diperkenalkan sebagai teknologi baru yang serentak mengangkut juga transformasi peradaban di benua Eropa, kemudian Amerika.
Kereta yang lahir pada abad kesembilan belas itu “membawa my baby pergi”. Sebutan “my baby” sepertinya sengaja dipilih demi makna yang lebih luas, bisa “kekasihku” (orang tercinta), bisa juga “anakku”; sehingga dimungkinkan menyentuh kesadaran pembaca/pendengar yang tak terbatas. Namun, apa pun makna yang kita pilih, sebutan itu merujuk ke manusia—personifikasi dari masa silam, masa kini, dan masa depan. Dua-sembilan belas itu membawa anakku pergi/ Dua-sembilan belas itu akan membawanya kembali suatu hari. Larik-larik itu secara singkat mengungkapkan bahwa yang dibawa pergi dan dibawa kembali sesungguhnya bukan hanya manusianya dalam arti leksikal, melainkan juga segenap narasi sosial-historis yang menyertainya.
Apakah “yang kembali” itu sama dan identik dengan “yang dulu pergi”? Karya Rismanto, sebagaimana umumnya karya seni lain, bukanlah usaha untuk menyediakan jawaban, apalagi memberikan kebenaran. Namun, seperti pernah dinyatakan Rismanto, “Saya ingin orang yang melihat karya saya, siapa pun dia, merenung. Saya ingin karya saya tidak berhenti di mata”, mengandaikan bahwa kita mungkin menemukan jawaban itu setelah menelisik jauh melampaui pandangan.
Kereta-kereta Rismanto tak lain adalah alegori dari perjalanan. Melalui perjalanan kita tak hanya menemukan, tetapi juga meninggalkan. Acap kali apa yang kita tinggalkan itu hadir kembali di dalam benak, seolah menolak punah, dan tak jarang menuntut untuk kita nyatakan. Kenangan, karenanya, punya peran penting dalam proses kreatif seorang seniman. Karena kenangan bukan repetisi, ia menjadi sumber daya kreativitas dalam proses penciptaan seni yang tidak repetitif. Pada sebuah lukisan, misalnya, tak kita temukan garis atau warna yang persis berulang. Kerja kreatif Rismanto pun tak bebas dari peran kenangan. Rismanto bukan jenis seniman mimetik, yang berusaha menangkap dan meniru secara langsung objek yang ia lihat untuk dipindahkan ke media seninya. Objek-objek ia serap lazimnya informasi, direnungkan, dipahami, dan setelah mengalami internalisasi personal kemudian diekspresikan dengan cara dan jalannya sendiri.
Penyair James Sterling Tippett dalam puisinya “Trains”,
menyuratkan perjalanan kereta yang serta-merta mengurai kenangan atas
bagian-bagian alam yang dilalui, benda-benda yang terangkut, juga waktu
yang ditempuh. Melintasi pegunungan, mengarungi dataran,
menyeberangi sungai; mengangkut penumpang, membawa surat-surat,
memuat beban berharga, tak pernah menyerah; menembus terang dan gelap, melalui senja dan fajar.
Dengan larik-larik kata sederhana itu si penyair hendak menyampaikan
kembali kenangannya atas pengalaman berkereta atau pengetahuannya
tentang perjalanan kereta. Kita seolah diajak turut serta dalam
perjalanan itu, menyaksikan beragam imaji di dalam dan di luar kereta
selama perjalanan.
Rismanto pun melakukan presentasi serupa. Perhatikanlah bentangan rel, timbunan kerakal, tebing bersemak, jembatan merah, rambu perjalanan, juga serangkaian gambar pemandangan dan evolusi alat transportasi. Melalui alegori kereta Rismanto mengajak kita merenungkan perjalanan, memaknai kembali apa saja yang terangkut di dalam kereta, yang terlalui, dan yang terbawa di dalam ingatan kita sesudahnya.
Substansi dari perjalanan adalah gerak—sesuatu yang tak bisa digambar. Perjalanan yang saya tangkap dari karya Rismanto bukan semata perpindahan fisik sebagaimana ditandai dengan lintasan kereta, melainkan gerak berkesinambungan yang tak mengenal perhentian. Karena itu, dalam tulisan ini, saya sengaja mengabaikan pemaknaan denotatif atas stasiun, karena stasiun tak lebih dari penanda tempat transit, cuma jeda. Pada dirinya sendiri setiap penanda perhentian itu pun terus bergerak.
Gerak tak berkesudahan itu, yang menyebabkan perubahan abadi, telah dikabarkan oleh Herakleitos bahwa tak satu pun entitas di alam semesta ini yang bersifat tetap atau permanen. Konsekuensinya: tak ada sesuatu yang benar-benar “ada”, karena segalanya senantiasa di dalam proses menjadi. Dengan memilih sungai sebagai alegori, Herakleitos menyatakan ungkapannya yang masyhur: panta rhei kai uden menei, semuanya mengalir dan tidak sesuatu pun yang tetap. Perubahan terus-menerus itu dapat ditangkap keteraturannya oleh logos, yang saat itu dipahami sebagai rasio yang menjadi hukum dan menguasai segala hal—yang fisik maupun metafisik. Karenanya, untuk mengetahui keberadaan gerak, kita hanya bisa menangkap benda-benda yang terlibat di dalam pusaran gerak. Menyatakan perjalanan hanya mungkin dengan mendeteksi subjek yang berjalan dan objek yang terlintasi sepanjang jalan. Begitulah Rismanto mencoba menyatakan gerak tak berkesudahan itu, perubahan abadi itu, dengan kereta dan segala mise-en-scene-nya.
Lebih dari itu Rismanto pun membuka kemungkinan adanya pemaknaan asosiatif bagi karyanya. Salah satu lukisan besar bertajuk “Sembilan Kepala Naga”, misalnya, membimbing asosiasi kita ke kemungkinan bentuk awal kereta yang terhubung dengan naga. Pilihan asosiasi seperti itu agaknya dipengaruhi oleh pola penghayatan mistis yang regional. Sebab, fantasi naga berwujud ular besar umumnya dikenal di kawasan Asia, sedangkan di alam khayalan Barat binatang mitologis itu dibayangkan serupa Pterosaurus. Perbedaan seperti itu lumrah karena setiap karya tak pernah benar-benar bisa diceraikan dari konteks sosio-kultural kreatornya.
Pernyataan Walter Benjamin bahwa penulis telah mati begitu karyanya rampung ditulis, yang kerap dipahami sebagai “suatu karya sastra tak lagi terkait dengan riwayat sastrawannya” atau diperluas “karya seni tak lagi punya kaitan dengan senimannya”; bagi saya itu pemahaman yang keliru. Saya lebih memaknai pernyataan itu sebagai rangsangan filosofis yang membuka keleluasaan bagi setiap orang untuk secara bebas menafsirkan karya, tanpa bergantung pada otoritas kreator maupun pendiktean makna yang mungkin dilakukannya. Kendati demikian, bukan berarti latar sosial-historis seniman mesti diabaikan. Dengan sikap seperti itulah, saya kira, kita akan menemu begitu banyak kemungkinan pemaknaan dalam karya Rismanto. Betapapun, kereta di negeri ini juga punya sejarahnya sendiri, meliputi perbudakan, kerja paksa, perampasan tanah rakyat, gerakan perlawanan, pembagian kue kekuasaan, sampai ke urusan managemen layanan publik dan bisnis transportasi.
Demikianlah, perkenankan saya akhiri tulisan sederhana ini dengan memenuhi permintaan Rismanto untuk menyertakan puisi yang saya tulis pada 2012 berikut ini:
KERETA
1
Sendiri di Stasiun Tugu,
entah siapa yang ia tunggu
Orang-orang datang dan lalu,
ia cuma termangu
Sepasang orang muda berpelukan
seolah memeluk harapan
Ia mendesis,
serasa mencecap dusta yang manis
Bilakah benih kenangan pertama kali tumbuh,
kenapa ingatan begitu rapuh?
Cinta mungkin sempurna,
tapi asmara sering merana
Ia tatap rel menjauh dan lenyap di dalam gelap
di mana ujung perjalanan, kapan akhir penantian?
Lengking peluit, roda + roda besi berderit,
tepat ketika jauh di hulu hatinya terasa sisa sakit
2
Andai akulah gerbong kosong itu,
akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku
Di antara orang berlalang-lalu,
ada masinis dan para portir
Di antara kenanganku denganmu,
ada yang berpangkal manis berujung getir
Cahaya biru berkelebat dalam gelap,
kunang-kunang di gerumbul malam
Serupa harapanku padamu yang lindap,
tinggal kenang timbul-tenggelam
Dua garis rel itu, seperti kau dan aku,
hanya bersama tapi tak bertemu
Bagai balok-balok bantalan tangan kita bertautan,
terlalu berat menahan beban
Di persimpangan kau akan bertemu garis lain,
begitu pula aku
Kau akan jadi kemarin,
kukenang sebagai pengantar esokku
Mungkin kita hanya penumpang,
duduk berdampingan tapi tak berbincang,
dalam gerbong yang beringsut
ke perhentian berikut
Mungkin kau akan tertidur dan bermimpi tentang bukan aku,
sedangkan aku terus melantur mencari mata air rindu
Tidak, aku tahu, tak ada kereta menjelang mata air
Mungkin kau petualang yang (semoga tak) menganggapku tempat parkir
Kita berjalan dalam kereta berjalan
Kereta melaju dalam waktu melaju
Kau-aku tak saling tuju
Kau-aku selisipan dalam rindu
Jadilah masinis bagi kereta nasibmu,
menembus padang lembah gulita
Tak perlu tangis jika kita sua suatu waktu,
sebab segalanya sudah beda
Aku tak tahu kapan keretaku akan letih,
tapi aku tahu dalam buku harianku kau tak lebih dari sebaris kalimat sedih
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment