- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Minke mendengar teriakan perintah mandor belanda lalu melihat pribumi harus kerja paksa , mengangkut baja-baja dan menyambungnya menjadi satu memanjang untuk pemasangan rel kereta api.
Minke lari keluar , sambil monolog :
” inilah jaman modern, jaman pengetahuan dan akal, kekuatan tidak hanya milik gajah, kuda, sapi dan kerbau, tapi milik benda benda kecil buatan manusia.
Kereta api memasuki peron dengan bunyi peluitnya yang panjang, Minke berlari mengikuti kereta api, hingga akhirnya Minke berhenti dan memperhatikan kereta api yang terus menjauh pergi. Minke berteriak dengan segenap perasaan bangga yang meluap ke arah kereta api yang menjauh pergi.
Jaman moderen…kehidupan moderen…
Itulah sepenggal kisah seorang pemuda Bumi Putera yang bernama Minke, dalam scrip film “Bumi Manusia”, diambil dari salah satu novel Tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer, kisah cerita dengan latar kejadian di akhir tahun 1800 an, kereta api merupakan teknologi angkutan moderen saat itu.
Jaman Moderen, Kehidupan Moderen
Setelah tanam paksa diberlakukan oleh Van den Bosch, Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, pada tahun 1825–1830, ide tentang perkereta apian di Hindia Belanda diajukan dengan tujuan untuk mengangkut hasil bumi dari sistem tanam paksa. Salah satu alasan yang mendukung adalah tidak optimalnya lagi penggunaan jalan raya pada masa itu sebagai jalan pengangkutan hasil bumi dengan menggunakan “gerobak” yang ditarik sapi, kuda, atau pun kerbau dan bahkan dengan tenaga manusia. Akhirnya, pada 1840, Kolonel J.H.R. Van der Wijck mengajukan proposal pembangunan jalur kereta api di Hindia Belanda.
Kehadiran kereta api di Hindia Belanda diawali dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di desa Kemijen menuju desa Tanggung sepanjang 26 km pada tahun 1864. Kereta api pertama di Hindia Belanda dibangun tahun 1867 di Semarang dengan rute Semarang – Tanggung yang berjarak 26 km oleh “Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij” (NV. NISM)
Maka Pemerintah Kolonial Belanda sejak tahun 1876 telah membangun berbagai jaringan kereta api, dengan muara pada pelabuhan Tanjung Priok Batavia dan Tanjung Perak Surabaya. Hindia Belanda memasuki jaman modern dalam transportasi, sistem pengangkutan hasil bumi yang digerakan dengan mesin-mesin dan alat modern saat itu.
Seperti kekaguman Minke dalam
Minke terkagum melihat bengkel dan sekrup-sekrup, berbisik, “modern” kata itu bagai bakteri menyebar, aku belum tahu artinya, kekuatan tidak hanya milik gajah dan kerbau, tapi milik benda benda kecil buatan manusia : “sekrup”
Dikatan juga oleh Magda Peters, guru Minke, seorang guru HBS (Hoogere Burgerschool), di depan Tuan Direktur, para guru dan para siswa HBS…
“Hari ini seluruh Hindia Belanda berpestapora karena Sri Ratu Wilhemnia naik tahta. Sungguh kita sangat beruntung di saat penobatannya kita sekaligus menyaksikan awal jaman modern di Hindia Belanda. Sebentar lagi mesin akan menggantikan setiap macam pekerjaan, mesin cetak, mesin-mesin pabrik, dan kereta api… “
Seperti diceritakan oleh Rismanto dalam ingatan dan imajinasinya bagaimana kekaguman dia ketika melihat kereta api. Rismanto hidup di kampung yang tidak jauh dari Pabrik Gula Madukismo, sejak kecil kehidupannya sudah akrab dengan kereta dan lori pengangkut tebu yang selalu lewat dekat rumahnya. Sebuah kendaraan terbuat dari besi, kokoh, dan kuat, menarik beban berupa onggokan tebu-tebu yang diantarkanya menuju pabrik gula untuk siap di giling dan diproses menjadi gula. Tebu-tebu itu sudah tidak lagi diusung dengan gerobak sapi. Sebuah teknologi moderen hadir untuk lebih efektip. Semua sudah digerakan dengan mesin-mesin. Rismanto kecil selalu mengikuti kereta itu dengan nggandul naik ke kereta sambil menarik-narik tebu bersama teman-temanya untuk dimakan.
Pengalaman empiriknya itu menjadi subuah pijakan atas proses kreatifnya, hingga ketika dia sekolah di SMSR – Sekolah Menengah Seni Rupa di Yogyakarta, Rismanto sudah mulai menggambar kereta api, atas ingatannya dimasa kecil.
Selepas lulus dari SMSR tahun 1994 Rismanto mengadu nasibnya kerja di studio animasi di Jakarta. Kerta api dipilihnya sebagai transportasi yang murah untuk kepergiannya ke Jakarta dan juga ketika pulang ke Yogyakarta. Pengalaman panjang sebagai animator adalah sebuah pengalaman yang tak sia-sia, banyak ilmu visual dan gerak yang dipelajarinya, bentuk-bentuk presisi yang realistis dia kuasai ketika menggambar ilustrasi berikut detail-detail tokoh dalam animasi. Karena dalam dunia animasi ada yang disebut close-up maka akurasi detail sangatlah penting. Ketelitian-ketelitian detail kecil menjadi perhatiannya.
Hidup dan bekerja ikut orang lain menggelisahkan hatinya, Rismanto memutuskan untuk keluar dan pulang ke Yogyakarta tanpa membawa uang gajinya yang belum dibayarkan. Sementara waktu itu tepat menjelang lebaran. Di stasiun kereta Lempuyangan Yogyakarta ia tidak berani pulang ke rumahnya, keinginan untuk membahagiakan kedua orang tua tak terpenuhi karena dia tak membawa hasil dari jertih payahnya selama bekerja. Rismanto menggelandang di stasiun, pandanganya menerawang memperhatikan kereta-kereta lewat dengan mengangkut penumpang yang lalu lalang. Didepan matanya melihat pemandangan orang-orang yang turun dan naik dari kereta dengan bahagia sambil membawa barang-barang bawaan. Kekosongan pikiran menjadikan Rismanto sangat memperhatikan detail-detail orang yang lalu lalang, dari jenis ketawanya, pakaian, barang bawaan, hingga sekrup-sekrup kereta, bantalan rel kereta api, dan bentuk rel.
Sekarang ia menjadi seorang pelukis yang merdeka tanpa ada tekanan perasaan dalam proses kerjanya. Sebuah proses kerja kreatip yang membongkar seluruh pangalamannya itulah modal gaya lukisannya yang realistis dan sangat detail, perhatiannya pada detail-detail sekrup, kabel, rantai, selang-selang yang ada di kereta api dia tangkap hingga menjadikan sebuah karya yang sangat realistik dan detail. Dengan goresan pisau palet Rismanto mampu menterjemahkan kedalaman ruang, kedalaman gerak, yang ini dia peroleh dari pengalamannya sebagai animator, seorang animator harus bisa mengimajinasikan awal dan akhir gerak dari sebuah gambar.
Imajinasi
“Imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Pengetahuan itu terbatas, sedangkan imajinasi merangsang kemajuan yang melahirkan evolusi”. (Albert Einstein).
Spirit ini yang memberi semangat Rismanto untuk tetap bekerja dan “menemukan”. Gagasan demi gagasan digali atas dasar pengalaman empirisnya. Bisa dilihat dari karyanya yang berjudul #awas spoor# KERJA, KERJA, KERJA. Karya ini seperti Rismanto mempersonifikasikan kereta sebagai seorang yang bekerja dengan gigih. Visualisasi karya itu, adalah sebuah kereta api yang mengangkut balok kayu besar yang melebihi besaran kereta apinya, adalah sebuah kerja keras untuk tetap berusaha memenangkan dan meraih sebuah hasil “ semangat manusia tidak pernah berakhir ketika dikalahkan, semangat tersebut berakhir ketika kita menyerah”.
Karya-karyanya itu merupakan spirit seperti dalam hidupnya, keinginan untuk merevolusi dirinya menjadi manusia yang merdeka, dan keinginan berevolusi untuk berkembang dan terus berkembang. Karyanya yang berjudul #awas spoor# Tak Pernah Padam, menggambarkan “Semangat yang terus tumbuh, masa lalu bisa menjadi penghambat terbesar untuk masa depan jika tak rela untuk melepaskannya”. Juga karya #awas spoor# 9 kepala Naga, dimana karya tersebut menyimbulkan atas “memandang delapan arah mata angin dan satu arah pandangan untuk yang Maha Agung, untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang sesat”. Disini Rismanto telah mengalami proses spiritualitas yang selalu dia ingat, pengalaman masa kecilnya, pengalaman masa-masa sulitnya ketika ia bekerja. Rismanto selalu memandang semua apa yang ada disekitarnya ketika ia berproses untuk karyanya, dan tetap ingat pada yang Maha Kuasa seperti yang dipesankan Ibunya. “ Kerja dengan niat baik”.
Revolusi belum selelsai
Inilah sebuah ungkapan yang selalu membayangi dalam benak Rismanto, dalam dirinya ia selalu ingin berubah untuk suatu “pencarian”. Rismanto kini seakan lepas, bebas, dan merdeka itu yang akan diraihnya. Gambaran tentang kemerdekaan itu ia visualisasikan seperti karyanya yang berjudul #awas spoor# Jalan Raya Nusantara, karya tiga dimensi yang panjangnya kurang lebih 25 m, sebuah rel membujur panjang dan diatasnya terpasang beberapa miniatur kereta api lengkap dengan gorbong-gerbongnya mengangkut hasil bumi di Nusantara. Gambar pemandangan sawah, hutan, kebun jagung, kopi, sungai memnggambarkan kekayaan bumi Nusantara. Melihat gambar-gambar itu seakan kita menikmati keindahan alam seperti dari dalam kereta api. Disamping itu juga terpampang gambar-gambar grafis alat-alat transportasi dari gerobak sapi hingga sepeda motor, seperti menunjukan evolusi alat transportasi, dan beberapa teks-teks dengan munggunakan huruf jawa yang berbunyi, Rawe-rawe rantas malang-malang putung, Holopis kuntul baris, Pring reketeg gunung gamping ambrol, kalimat itu sebagai spirit kebersamaan, dan kekompakan. Teks-teks itu mengingatkan ketika di jaman revolusi Soekarno seorang pemimpin revolusi sedang berorasi diatas gerbong kereta api di stasiun kereta api Tugu Yogyakarta, tahun 1949, didepan masa rakyat dan pejuang untuk memberi semangat dalam merebut kemerdekaan tanah air dari kekuasaan militer Belanda atas Jogjakarta, yang terkenal dengan sebutan “Jogja Kembali”.
Karya “Jalan Raya Nusantara” ini adalah gambaran kritis Rismanto dalam melihat keadaan di tanah air dari dulu hingga kini. Apakah kita sudah betul-betul merdeka?. Dari jaman Belanda hingga kini hasil bumi itu apakah sudah kita nikmati betul?. Penjarahan-penjarahan hasil bumi kita selalu menguap entah kemana. Kenyataanya memang revolusi belum selesai. Hasil tambang dan hasil bumi belum bisa dinikmati oleh rakyat sepenuhnya. Rakyat tidak diajarkan untuk mengembangkan dan mengolahnya, rakyat hanya sebagai komoditas komsumtif. Revolusi mental harus dibangun dan ditegakkan, agar kita tidak selalu menjadi masyarakat yang kalah, Saya tidak mau kalah, saya akan terus berjalan, dan bekerja, seperti lokomotif yang sedang melintas jalan “bahwa setiap pemakai jalan raya yang hendak melintas jalan kereta api wajib mendahulukan lewatnya kereta api”. Maka jawabannya adalah dengan “ Kerja, Kerja, Kerja, seperti juga pada salah satu judul karya Rismanto.
Rismanto selamat berjuang, “boeng ajo boeng”
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment