(Semoga) Tak Berhenti Lama




Lagu anak-anak judul ” kereta Apiku” atau Naik Kereta Api diperkirakan pertama kali dipopulerkan oleh RRI (Radio Republik Indonesia) Pada awal dasawarsa 1960-an. Kini, puluhan tahun kemudian, lagu ciptaan Saridjah Niung Bintang Soedibio atau yang lebih karib dipanggil sebagai ibu Soed tersebut telah menjadi salah satu lagu anak-anak yang legendaris di Indonesia.

Ada nuansa kegembiraan dalam lagu tersebut. Dan kalau digali lebih jauh pada bait pertama lirik lagu ini mengisyaratkan sebuah ungkapan akan harapan dan cita-cita anak-anak Indonesia atas transportasi publik atau massal di Indonesia. Penggalan lirik ‘bolehlah naik dengan naik percuma’ ( percuma atau cuma-cuma) menunjukan ekxpektasi terhadap penyediaan transportasi yang terjangkau secara ekonomis oleh rakyat karena layanan transportasi bisa disediakan secara ‘percuma’ (gratis) atau setidaknya bertarif rendah. atentu saja peluang ini hanya bisa direngkuh jika negara atau pemerintah memeiliki paradigma penyediaan jasa, apalagi liberalisasi layanan publik.

Kemudian penggalan lirik ‘ayo kawanku lekas naik…keretaku tak berhenti lama’ seperti memberi isyarat tentang cita-cita akan adanya layanan transportasi yang efisien, tepat waktu, disiplin, sehingga ,masyarakat pengguna modal transportasi ini tidak perlu membuang-buang waktu karena keterlambatan armada. Lagu “Kereta Apiku” ini, menurut beberapa sumber, diciptakan oleh Ibu Soed berdasar pengalaman masa kecilnya ketika sesekali bepergian naik kereta api dai kota kelahiannya, Sukabumi, menuju ke Surabaya dengan melewati jalur tengah dan selatan (Pulau Jawa). Maka tak heran bila lirik yang dibuat menunjukan ke rute kereta api  yang ditempuhmya waktu itu begitu membekas. Dan jalur yang dilewatinya itu dulu, mesti melampaui sekian banyak setasiun kereta api yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding yang ada sekarang. Bahkan kini stasiun atau jalur rel kereta api banyak yang dimatikan karena berbagai faktor.

 Jagat perkeretaapian sendiri, untuk konteks Indonesia, diawali sebagai sebuah gagasan yang bernuansa politis. Persisnya sebagai bagian dari strategi militer untuk memotong gariskonfik yang telah membawa banyak korban dengan menguras berbagai sumberdaya. Ya, gagasan pembangunan rel kereta api justru diinisiatifi oleh Kolonel Van Der Wijk. Dia mengusulkan agar dibangun untuk kepentingan militer sebagai siasat untuk mengantisipasi perlawanan susulan dari sisa-sisa pendukung Pangeran Diponegoro setelah Perang Jawa berakhir (1825-1830). Namun dalam gelombang pemikiran yang relatif sama, para pengusaha perkebunan di Jawa menginginkan adanya jalur rel kereta api untuk memudahkan pengangkutan komoditas hasil perkebunan menuju pelabuhan.

Begitulah sejarah awal dunia perkerteaapian di Indonesia ( Hindia Belanda ) pun bergulir. pada tanggal 17 Juni 1864 Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu. LAW Baron Sloet Van Den Beele (1861-1866) melakkukan upacara pencangkulan pertama pembangunan jalur rel di desa Kemijen, Semarang. Pembangunan rel pertama ini membutuhkan waktu 3 tahun, hingga kemudian perjalanan kereta api di bumi Nusantara terjadi untuk pertama kalinya pada tanggal 10 Agustus 1867 dengan menempuh jarak sekitar 24,7 km antara stasiun Semarang (Semarangz) dan halte Tangoeng (Tanggung) di sebelah selatan. Kala itu , kereta api terdiri dari beberapa gerbong yang difungsikan untuk mengangkut hasil perkebunan.

Sementara untuk konteks Yogyakarta, stasiun tua ada di wilayah ini, yakni stasiun Tugu didirikan tahun 1887. kini menjadi salah satu  stasiun terbesar di kawasan jalur selatan pulau Jawa. Pedirian stasiun tersebut, berikut jalur rel yang membelah kota Yogyakarta, juga disebut-sebut memiliki tendensi politis. Meski pendirian stasiun dan rel disitu telah melampaui sekitar 50 tahun dari berakhirnya Perang Jawa atau perang Diponegoro, Namun posisi rel yang melintanf di atas kota itu seperti menjadi “pagar” bagi kediaman Pengeran Diponegoro di kaeasan Tegalrejo. Kediaman Diponegoro seperti “dibuang ” di utara rel, sementara kawasan pemeerintahan yakni Kraton Ngayogyakartahadiningrat. Gedung Agung, dan kawasan ekonomi yaitu Jalan Malioboro berda di selatan rel. Pemerintah Hindia Belanda menganggap bahwa sisa-sisa laskar , anak buah, dan kerabat Diponoegoro masih memiliki kekuatan yang bisa sewaktu-waktu memberi perlawanan dan pemberontakan.

Rel, kereta api,stasiun , dan segenap kompleksitas persoalan fisik pada jagad perkeretaapian menjadi pokok soal utama dalam karya-karya seniman Rismanto. Ini adalah kesempatan pertama baginya untuk berpameran tunggal. Menyimak aspek fisikalitas yang digarapnya dengan serius, tampak ada kesan beragam yang bisa dikemukakan di sini. Pertama, tak banyak seniman di Indonesia yang menentuakan pilihan tema perihal perkeretaapian sebagai basis utama imajinasinya dalam berkarya. Maka, pilihan Rismanto utnuk mencoba fokus pada satu tema ini memberi tantangan strategis dalam penciptaan karya. Dia masih begitu berpotensi untuk mengeksplorasi sebanyak mungkin aspek fisik dan aspek yang melampaui probelm fisikalitas dunia kereta api. Namun sebaliknya, juga berpeluang utnuk melakukan gerak produktivitas yang repetitif dan menjemput monotonitas. Inilah tantangan yang mesti dipecahkannya segera.

Ketiga, adanya upaya sublimasi atas beragam persoalan sosial, politik, sejarah, ( agri) kultural, filsafat, dan lainya yang dibenamkan dalam cara yang eufemistik dan sederhana dalam karya. Rismanto dengan pengalamanya di dnia audio visual mencoba menyarikan atau memadatkan berbagai narasi yang ada dalam dunia perkeretaapian, meski mungkin tidak sangat detail seperti ilmuwan sosial yang lengkap dengan perangkat dokumentasi dan data.

Ketiga , kautnya kemampuan dan kepiawaian teknis seniman dalam menaklukan material karya telah memberikan gambaran tentang praktik kerja artistik sebagai upaya untuk “memuliakan” kembali karya seni. Poin ini berangkat dari kecenderungan praktik kerja kreatif seniman ang akhir-akhir ini terkadang (pada sebagian seniman) kurang memberi titik keseimbangan yang proporsional antara kemampuan dalam membangun gagasan dan kemudian mengoprasionalkan gagasanterswbut di tingkat praksis. Rismanto berupaya keras untuk melakukan dua hal penting itu-menggagas dan mengoprasionalkan gagasan-ke dalam semua karyanya. Dengan demikian, semua karya yangdari awal digagasnya terus aja berada dalam garis kendai imajinasi dan kemampuan teksnisinya. Pada titik ini, bisa saja pendapat ini memicu debat yang berkepanjangan-dan belum tentu berkesudahan. namun, ketika seorang senima memahami dunia gagasan dan hingga dunia bentuk atas karya-karyanya, muali dari yang membayang hingga mewujud, maka”nilai rasa” atas karya relative akan kuat terasa.Ada kekeriban persnoal dalam karya tersebut, terutama karakter karya seperti yang dibuat oleh Rismanto dalam pameran kali ini.

Dengan pemahaman pada poin ketiga tersebut di atas, publik akan bisa segera merasakan betul “ruh” karya dan diri Rismanto dalam pameran ini. Misalnya ketika publik menyaksikan miniatur jembatan berwarna merah kusam. Jembatan tersebut-yang terbuat “hanya” dari tripleks-terasa sudah renta, tersaput lapisan – lapisam waktu yang begitu lama, dan seperti tak lama lagi tidak sanggup terbeban banyakmemori.Dalam tubuh jembatan itu, secara teknis Rismanto sanggup untuk menelisik secara detail. Ada sekitar 6000 (enam ribu) mur yang tertata dalam tubuh miniatur jembatan.dengan penataan yang sistematis dan terjaga. Bukan asal menempel.

Disisi lain, aspek-aspek renik namun punya nilai, dibenamkan pada sekian banyak karyanya. Salah satunya, penonton bisa mentimak sebentang kanvas berukuran 3 x 8 meter yang mengetenngahkan 9 ( sembilan) kepala lokomotif dengan beragam variasinya. Ada yang “dimain-mainkan” pada soal angka 9 ini. menurut Rismanto dalam kepercayaan masyarakat jawa (seperti halnya masyarakat Tionghoa) meyakini angka 9 merupakan angka keberuntungan . lalu dalam beberapa tubuh bagian depan lokomotive itu ada angka – angka 57 58 (lima tuju lima delapan) yang bisa disingkat “majumapan” . Ini mengisyaratkan sebuah ekspetasi bagi dirinya, bagi perjalanan karier kesenimananya, sebuah proyeksi bagi dirinya agar bisa segera dalam posisi maju dan mapan, progresif dan establish-mungkin tepatnya meraih eksistensi dalam medan sosial seni rupa. Ada pula angka 55 (llim-lima ) yang pengucapanya pun bisa sebagai “mama” atau ibu. Rismanto mengakui bahwa peran sosol ibunya begitu penting dlam perjalanan hidup, karier, dan kesenimanannya.Ibunya tak memberi ekspetasi yang begitu melambung pada dirinya dalam berbagai persoalan, seperti soal karier, pencapaian finansial atau hal-hal yang berkaitan dengan dunia material. Dan itu memberi spirit besar bagi proses kreatifnya, dulu dan kini.

Saya kira, kereta api dan perkeretaapian serta berbagai problemnya tengah digelar oleh Rismanto sebagai alat baca untuk menyimak berbagai hal yang melampaui masalah fisik semata. karena tubuh fisik kereta adalah juga tubuh sosial, tubuh sejarah,tubuh antropologi, tubuh filsafat, tubuh estetika, dan lainya, yang semuaya mampu membangun narasi-narasi besar yang melampaui tubuh keretaitu sendiri. Dan , anda penonton atau siding pembaca, memiliki hak juga untuk menafsir narasi-narasi yang berawal dari kereta tersebut.

Sementara bagi senimanya sendiri Rismanto-bagi saya-justru diandalkan segera”melupakan” narasi-narasi yanng berterbar dalam pameran tunggalnya kali ini dan lalu segera bergerak mencari narasi dnan pencapaian yang berbeda ke depan. Tak perlulah kereta imajinasi dan estetikamu terlalu lama berhenti di stasiun ini. Ya, tak perlu berhenti lama disini ya…

 

Comments