Spoor Yang Berbicara

 


Beberapa bulan setalah memangku tugas sebagai kepala negara, presiden jokowi, langsung berpaling ke Timur. Dia ingin bikin bahagia rakyat di Indonesia Timur yang selama ini selalu luput dari jangkauan Pusat. Anggaran berlimpah diguyur ke sana untuk pembangunan infrastruktur: penataan ruang, pembangunan waduk, memaksimalkan pelayanan pendidikan dan kesehatan, pembangunan sistem transportasi, dan sebagai kebijakan yang tujuanya meminimalkan kesenjangan dengan wilayah barat. Nah, salah satu kebijakan yang bikin orang disana bungah adalah dimaluainya pembangunan transportasi kereta api di Kalimantan , Sulawesi dan papua. Sungguh sebuah ironi, kenapa setelah 71 tahun indonesia merdeka, saudara-saudara kita di Timur baru akan punya sepur.

Sepur atau kereta api yang segera mengular menghubungkan kota-kota di wilayah Indonesia Timur itu menjadi penanda sebuah kebangkitan, bukan saja kebangkitan ekonomi tetapi juga kebangkitan bangsa. Kebijakan ini akan mengawali terbukanya wilayah-wilayah baru. Menembus desa-desa terpencil yang selama ini terpinggirkan pembangunan. Adanya alat transportasi paling merakyat ini akan menyejajarkan dengan wiayah-wilayah lain di Indonesia, sehingga kompetisi pembangunan antara daerah bisa berlangsung fair. Awal kesejahteraan dan kebahagiaan masyarkat sedang dimuali.

Sementara di sini, di Yogya, Rismanto, pelukis alumni SMSR – Sekolah menengah Seni Rupa – Hari ini melalui pameran tunggalnya yang pertama “Awas Spoor” menyatakan kebangkitanya sebagai seorang seniman. Disebut “kebangkitan” karena selama ini potensi Rismanto seperti tertidur di antara hingar bingar seni rupa kontemporer, gara-gara ia lebih banyak bekerja di balik layar. Mungkin orang pernah mengenal karyanya yang menajubkan, tetapi tak pernah tahu siapa sesungguhnya penggores sepur-sepur yang bikin ngiler banyak kolektor itu.

Melenturkan Besi

Tentu kebangkitan Rismanto tak ada hubunganya langsung dengan kebijakan Jokowi untuk rakyat Indonesia Timur. Tapi kita bisa mempertalikan momentumnya, sama-sama menggunakan sepur sebagai alat menyatakan pikiran dan kehendak. Secara politik, sepur menjadi alat untuk mengungkapkan kesungguhan dan keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil. Sebab kita tahu, membangun infrastruktur perkerteaapian demi pelayanan terbaik bagi khalayak itu membutuhkan anggaran super bengkak dan kerumitan teknologi. Sementara secara estitik, ditangan seorang seniman , ternyata sepur yang selama ini hadir dalam stereotype tentang kegagahan, kwibawaan dan ke-kekar-an, bisa mewujud dalam aneka tafsir yang tidak terduga. Kebahagiaan dan pengalaman-pengalaman baru penikmat seni visual juga bakal dipetik setelah melihat idiom-idiom baru yang jarang digunakan itu.

Di sinilah talenta Rismanto membuktikannya. Dengan kemahiran teknik dan ketelitian dalam penggarapan, dia meemperalat kereta besi, juga rel dan besi baja dalam spektrum perkeretaapian yang serba keras itu, sebagai cara dia berbahasa mengungkapkan pikiranya. Maka , sepur tidak berhenti menjadi gambar duplikat atau replika kenyataam. Juga bukan sekedar desain miniatur alat transportasi. Tapi menjadi suatu paparan kisah yang acapkali bertolak belakang dengan watak asli kereta api yang keras, melainkan menjadi ekspresi kelembutan, romantisme, atau hal-hal yang bersifat puitik. kata laim, besi baja bisa dihadirkan dalam citra yang sangat berbeda dengan watak aslinya. Secara hiperbolik orang bisa mengatakan Rismanto bisa melenturkan besi, menjinakan kerasnya baja.

Tafisr Baru

Kecermatan terhadap detail dalam penggambaran lokomotif, ketepatan merangkai pilah-pilah baja dan pernik-pernik sekrup, juga ketelitian menyusun warna menciptakan citra besi baja-yang terkadang berlumuran minyak-minyak mengisyaratkan Rismanto benar-benar menyelami anatomi dunia lokomotif komplit dengnan gerbong, rel dan stasiunnya. Karenanya, tak bakal terjadi Rismanto melakukan kecerobohan, misalnya, melukis lokomotif dengan dua lampu sorot di jidat sebuah lokomotif sebagaiaman dulu pernah terjadi pada sebuah lukisan fenomenal karya pelukis terkenal. Hal ini patut diapresiasi. Bisa dibilang, ini kemauan dan ketersediaan yang langka, mengingat hari ini banyak seniman mulai meninggalkan keterampilan itu karena pertolongan teknologi digital.

Kreativitas dan imajinasi kesenimanan Rismanto masih memungkinkan lahirnya tafsir- tafsir baru. Dunia sepur sebagai “alat berbicara” masih menyimpan ribuan cerita ketika, misalnya lokomotif dan gerbong-gerbong itu dipertemukan dengan berbagai lanskap alam yang penuh pesona. Dengan berbagai binatang, tetumbuhan, manusia, bahkan seumpama dipertemukan dengan benda-benda sepele yang mengandung makna simbolik. Maka, kelak sepur-sepur Rismanto dimungkinkan hadir bukan semata-mata sebagai imitasi lokomotif, pencitraan gambar fotografis saja. Melainkan sebagai elemen visual yang bertutur tentang manusia dan kemanusiaan.

Barangkali, ini sebuah tantangan kreativitas. Sebab jika nantinya ia mencapai tahapan ini, bisa jadi Rismanto bakal menjadi seniman garda depan yang dengan jitu berhasil memadukan pikiran, ketajaman visi dengan kecakapan teknis yang luar biasa.

Comments